Namaku Raina. Gadis yang terlahir diantara lebatnya hujan di belantara beton. Suara tangisanku pecah diantara ketakutan abah dan emak akan musibah banjir yang konon kabarnya mencapai pinggang orang dewasa. Mungkin itulah sebabnya orangtuaku memberi nama Raina. Rain yang berarti hujan. Hujan yang selalu mengingatkanku pada mereka. Hujan yang membawa kabar bahagia pada orang-orang terkasihku, namun hujan pula yang membawa kabar buruk untukku. Hujan tidak pernah lekang dari kenangan di mataku.
Hari itu langit hitam pekat, angin berselancar dengan riuhnya di depan rumah. Lima menit kemudian butir-butir kristal bening jatuh menimpa rumah yang beratapkan seng. Bunyi gemuruh air bersahut-sahutan menimbulkan suara yang membuat bulu romaku merinding. Hujan kali ini sangatlah deras, belum lagi anginnya begitu kencang membuat rumah yang kami tempati bergoyang. Abah belum pulang juga dari tempat kerjanya. Biasanya jika pukul empat sore ayah telah sampai di rumah. Namun kali ini abah belum menampakkan batang hidungnya. Seperti biasa jika hujan turun aku dan emak pasti cemas, karena rumah kami berada di bantaran sungai. Semoga saja tidak terjadi banjir pikirku.
Tiba-tiba bang Roni, salah satu fasilitator penghijauan di desa datang dengan tergopoh-gopoh ke rumah. Dengan wajah cemas dan ketakutan bang Roni menyampaikan kabar bahwa tanggul di hulu telah jebol dan diperkirakan tidak sampai satu jam akan terjadi banjir bandang. Kami panik seketika, “abah bagaimana, mak?? Tanyaku lirih pada emak.
Emak hanya memandangku dengan wajah tak kalah pias.
“Sabar Nduk, sebentar lagi ayahmu pulang, yuk kita bereskan saja barang-barang penting lainnya” perintah emak padaku.
Dengan dibantu bang Roni kami membereskan barang-barang penting yang sebetulnya tidak layak lagi dikatakan barang mewah. Hanya ijazah SD sampai SMA aku simpan dengan rapi dalam ransel, tak ketinggalan album foto sejak aku dilahirkan sampai foto-foto terakhir bersama abah dan emak setahun yang lalu.
Niung….niung…niung…. bunyi tanda bahaya sayup-sayup terdengar di telingaku.
“Na, Mak, ayuk kita berangkat sekarang. Tidak ada waktu lagi” seru Bang Roni cemas.
“Tapi abah gimana bang?” tanyaku tak kalah cemasnya.
“Tidak ada waktu untuk menunggunya Na, sekarang kita selamatkan diri dulu, mungkin ayahmu sedang terjebak banjir di jalan. Dan boleh jadi dia berada di tempat aman sekarang” ujar bang Roni menenangkan perasaanku.
***
Di pengungsian aku dan emak tidak mampu memejamkan mata. Yang ada dipikiranku hanyalah ingin bertemu ayah, bagaimanapun keadaannya. Makanan yang dikirimkan oleh tim SAR tidak mampu meluncur ke dalam perutku. Sepertinya ada sesuatu yang menghalanginya untuk masuk. Hanya air yang mampu kuteguk.
Seminggu kemudian aku putuskan untuk kembali dari pengungsian. Berada di pengungsian hanya membuat kepalaku makin pening. Aku tiba di rumah dengan penuh pengharapan untuk bertemu abah, namun hanya rumah kosong penuh lumpur yang kudapati. Semua barang-barang telah hanyut terbawa arus banjir seminggu lalu. Tak ada bekas jejak abah di rumah mungkin dia belum pulang hingga hari ini.
***
Sekarang sudah bulan Januari, namun penantianku tak akan berhenti untukmu abah. Di bangku depan rumah aku memandangi rintik-rintik hujan yang jatuh perlahan dari langit, tak ada jaket dan payung, namun aku menikmati sapaan hujan sore ini. Berharap hujan mampu memberi jawaban dimana gerangan abah berada.
Lima tahun sudah musibah banjir melanda, namun kerinduanku akan kehadiran abah tak jua mampu kutepis. Sejak musibah itu, aku mulai mencintai hujan meski kadang ada perasaan sesak yang tiba-tiba menjalar diseluruh persendianku jika teringat akan abah. Aku mulai menikmati indahnya bercengkrama dengan hujan tiap gerimis menapak di halaman rumahku.
Ah, abah andaikan engkau berada di samping ku sekarang pasti kita akan menikmati hujan bersama, seperti waktu aku kecil dulu. Biasanya emak akan berteriak dari dalam rumah, memanggil kami untuk segera mandi sambil menyiapkan pisang goreng kesukaanku.
“Masuklah Na, Emakmu menunggu dari tadi di dalam, dia begitu khawatir padamu,” seru bang Roni membuat lamunanku buyar seketika.
“Sejak kapan abang disini?”
“Aku dari tadi berdiri dibelakangmu Na, namun tak berani mengusik keasyikanmu. Tapi sekarang hujan makin deras, yuk buruan masuk rumah”
“Iya bang”
***
Rumah kami sekarang tidak lagi berada dibantaran sungai. Kami pindah setahun yang lalu di sebuah kompleks perumahan sederhana. Setahun sejak kejadian banjir itu aku bergabung di LSM yang dibentuk oleh bang Roni. Sebuah LSM yang bergerak dibidang penghijauan, lewat LSM tersebut aku bertekad tidak akan ada lagi gadis atau siapapun yang akan kehilangan abahnya karena banjir. Banjir yang telah memisahkan aku dan abah masih selalu menyisakan sakit yang dalam di palung hatiku.
“Nduk, menikahlah dengan Roni. Ia begitu menyayangimu. Emak sekarang sudah sakit-sakitan. Mungkin umur emak tidak lama lagi, uhuk..uhuk…” nafas emak makin berat, segera aku sodorkan segelas air untuk emak.
“Ah, emak ngomong apa sih. Aku nggak pantas untuk bang Roni, mak. Aku hanyalah tamatan SMA, gak cocok bersanding dengan bang Roni”ujarku dengan wajah menunduk, berusaha menutupi wajahku yang mungkin memerah.
“Siapa bilang nduk, buktinya dia baru saja melamarmu saat kamu duduk di depan”
“Bener mak?”
“Iyya nduk, dia menitipkan ini” emak menyodorkan kotak mungil berbentuk hati.
Segera kubuka kotak tersebut dan kudapati cincin tersemat dengan indahnya dalam gabus. Ada rasa haru yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku. Sejak pertama bertemu sosoknya telah menarik perhatianku. Sinar mata teduhnya mirip dengan mata abah, dan aku menemui banyak kemiripan karakter antara bang Roni dengan abah. Terima kasih yah bang, semoga sosok abah hidup dalam dirimu dan aku tidak akan merasa kehilangan abah lagi.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar